Pendidikan

MEMBACA TUAS DI BULAN LITERASI

Zainal Abidin, S.Pd.,M.Pd

(Guru SMP Negeri 11 Parepare, penulis buku “Belajar dari Alam Menuju Hidup yang Lebih Bijaksana” dan buku “Menikmati Mengajar)

 

Tuas dikenal juga dalam kehidupan sehari-hari sebagai pengungkit. Walaupun kata pengungkit tidak selamanya pas digunakan pada semua tuas, pada prinsipnya keduanya sama saja. Menyebut tuas di sepeda, di motor, di pesawat terbang dan perangkat teknik lainnya terasa kurang enak jika disebut dengan kata “pengungkit”. Namun demikian, kata tuas juga tidak begitu populer di kalangan masyarakat awam. Tuas akan mudah dikenali jika ia diperkenalkan sebagai pengungkit.

Tuas atau pengungkit adalah salah satu jenis alat yang digunakan untuk memudahkan pekerjaan manusia. Ketika Anda mendapati batang kayu atau batu yang cukup besar untuk diangkat dan merintangi jalan, kita dapat menggunakan pengungkit untuk memindahkannya. Tuas di sepeda berfungsi untuk menarik rem tangan dan pedal untuk memutar gir. Demikian pula rem tangan dan kopling di motor menggunakan tuas. Di pesawat terbang tuas digunakan sebagai kemudi (control stick/yoke) dan pengotrol flap sayap. Di lain tempat, crane yang digunakan dalam pembangunan gedung juga merupakan tuas.

Secara teknik, pada prinsipnya tuas memiliki tiga bagian penting. Yang pertama, kuasa (gaya). Kedua adalah tumpuan, dan ketiga adalah beban. Kuasa atau gaya merupakan bagian utama yang dimiliki tuas agar dapat mengangkat beban. Sementara itu, dibutuhkan tumpuan untuk membuat gaya tersebut dapat bekerja.

Pembaca, saya tidak ingin mengajak anda berlama-lama membicarakan tuas secara teknik, tetapi kita akan melihat analoginya dalam kehidupan sehari-hari. Meski gaya merupakan syarat utama bekerjanya tuas tetapi tak akan berfungsi juga jika tidak ada tumpuan. Bayangkan Anda ingin memindahkan benda berat, Anda mengambil kayu seukuran tongkat, meskipun cukup tanpa tumpuan upaya Anda akan sia-sia. Biasanya kita menggunakan benda keras seperti batu yang ukurannnya tentu lebih kecil dari beban yang akan diangkat.

Analogi? Ya, kerja-kerja ilmiah dan profesional kita membutuhkan rujukan — yang analog dengan tumpuan pada tuas. Kehadiran rujukan seperti teori, prinsip, hukum atau regulasi mutlak dibutuhkan untuk menjamin kualitas kerja. Penemuan atau ide-ide baru seorang ilmuwan selalu dilandaskan pada temuan atau teori sebelumnya. Keputusan atau kebijakan yang diambil di sebuah istansi harus berpedoman dan tidak melanggar regulasi yang telah ditetapkan.

Pengabaian terhadap peraturan yang mestinya memayungi keputusan akan melahirkan ide atau kesepakatan yang ngawur dan tak berdasar selain sekadar pikiran lepas yang tak bisa dipertanggunjawabkan. Pengambilan ide seperti ini cenderung berdasarkan siapa yang berbicara. Pendapat itu diterima mungkin karena faktor wibawa, senioritas, atau karena orangnya disukai. Kondisi ini akan menghambat lahirnya produk kebijakan yang berkualitas. Tentu sangat tidak menguntungkan di tengah persaingan yang menuntut mutu tinggi.

Kita juga tidak ingin unit kerja di mana kita termasuk bagian di dalamnya berjalan seperti itu. Lalu apa solusinya. “Budaya baca” adalah jawabannya. Rujukan itu perlu dibaca. Payung regulasi perlu dibaca untuk dipahami. Selanjutnya penafsiran untuk penerapan teknisnya dapat dilakukan. Oleh karena itu pimpinan dan staf harus terbiasa membaca. Dengan kemampuan membaca, maka diskusi akan berjalan di atas landasan berpijak yang kuat. Masing-masing orang mengeluarkan gagasan yang dapat kita telusuri ujung pangkalnya. Dengan begitu, keputusan lahir dengan dasar pemahaman dan penerimaan yang dapat dipertanggung jawabkan, diterima akal sehat, dan menjadi pegangan bersama.

Perihal perlunya kebiasaan membaca, kita bisa belajar dari para pendiri bangsa kita. Pergulatan pemikiran dalam merumuskan masa depan negara ini, begitu tampak dalam sejarah. Bekal mereka adalah hasil membaca. Kita semua mungkin sudah mendengar betapa kuat kebiasan membaca dari Presiden pertama kita, Soekarno, demikian pula dengan tokoh-tokoh lainnya. Mari kita gunakan momentum bulan September —yang dikenal sebagai Bulan literasi Nasional— untuk merenungkan serta mencari gagasan bagaimana kebiasaan membaca menjadi budaya. (*)

Berita Terkait