Daerah

Kejati Sulsel Dorong Jaksa Gunakan Wewenang Tunda Penuntutan Jika Syarat Tertentu Terpenuhi

MAKASSAR, PILARKITA.COm – Dalam rangka memperingati Hari Lahir Kejaksaan RI ke-80, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) menggelar seminar ilmiah dengan tema “Optimalisasi Pendekatan Follow the Asset dan Follow the Money Melalui Deferred Prosecution Agreement (DPA) dalam Penanganan Perkara Pidana”. Acara yang berlangsung di Baruga Adhyaksa Kejati Sulsel pada Senin, 26 Agustus 2025, ini dihadiri oleh sejumlah akademisi dan praktisi hukum.

Kajati Sulsel, Agus Salim, dalam pidato utamanya yang bertajuk “Deferred Prosecution Agreement (DPA): Nawasena Penegakan Hukum Pidana Nasional”, menjelaskan bahwa ‘Nawasena’ yang berasal dari bahasa Sanskerta berarti ‘masa depan cerah’. Istilah ini mencerminkan komitmen untuk menyongsong masa depan penegakan hukum di Indonesia dengan optimisme dan semangat pembaruan.

Agus mendorong perlunya pembaruan kebijakan hukum pidana dengan mengadopsi pendekatan “follow the asset” dan “follow the money” melalui mekanisme DPA.

“DPA adalah wewenang jaksa untuk menunda penuntutan jika syarat tertentu terpenuhi. Konsep ini telah diterapkan di negara-negara common law untuk memulihkan kerugian negara akibat kejahatan korporasi,” ujar Agus.

Ia menambahkan bahwa DPA didasarkan pada asas proporsionalitas, yang menuntut keseimbangan antara penghukuman, keadilan, pemulihan, serta kepentingan berbagai pihak. “Pengaturan DPA merupakan momen penting dalam sejarah reformasi peradilan pidana di Indonesia,” tegasnya.

Dukungan dari Lembaga Peradilan

Pembicara kunci lainnya, Ketua Pengadilan Tinggi Makassar Dr. H. Zainuddin, S.H., M.Hum., menyatakan bahwa DPA dapat diterapkan di Indonesia meskipun menganut sistem civil law.

“Tujuan utama DPA adalah mempercepat pemulihan keuangan negara, terutama dalam kasus TPPU dan suap. Pendekatan ini didasari oleh asas oportunitas yang dimiliki Kejaksaan,” kata Zainuddin.

Ia juga mengungkapkan bahwa Mahkamah Agung secara aktif mendukung penerapan DPA melalui berbagai peraturan, seperti SEMA dan PERMA, untuk menciptakan peradilan yang cepat dan berorientasi pada pemulihan aset negara.

“Secara keseluruhan, konsep DPA bisa jadi instrumen yang bermanfaat, dan MA akan mendukung penerapannya karena tujuannya sejalan dengan upaya pemulihan keuangan negara,” ungkapnya.

DPA sebagai Solusi Kekosongan Hukum

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. M. Syukri Akub, S.H., M.H., mengusulkan DPA sebagai solusi untuk mengisi kekosongan hukum acara pidana di Indonesia terkait penangguhan penuntutan.

“Prinsip Dominus Litis, yang menempatkan jaksa sebagai pemilik perkara, menjadi dasar bagi DPA sebagai instrumen untuk menangguhkan penuntutan dengan syarat-syarat tertentu,” jelas Prof. Syukri.

Ia memaparkan bahwa penerapan DPA melibatkan dua tahap: Evidential Stage (evaluasi bukti) dan Public Interest Stage (pertimbangan kepentingan publik). Meski memiliki peluang seperti efisiensi peradilan dan pemulihan kerugian, Prof. Syukri mengingatkan sejumlah tantangan.

“Tantangan terbesarnya adalah persepsi DPA sebagai ‘corporate impunity’ dan kesulitan melacak aset yang berada di luar negeri,” katanya.

Untuk mengatasinya, ia menyarankan agar kewenangan penuh diberikan kepada Kejaksaan tanpa perlu persetujuan pengadilan, serta pembentukan tim independen di bawah Kejaksaan Agung untuk memantau transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan DPA.

Seminar yang dimoderatori oleh Fajlurrahman Jurdi, S.H., M.H., dari Fakultas Hukum Unhas ini menandai upaya serius kalangan penegak hukum dan akademisi untuk mengintegrasikan instrumen hukum modern guna meningkatkan efektivitas penanganan perkara pidana, khususnya yang melibatkan korporasi. (*)

Berita Terkait